Sebuah fenomena yang merebak di Indonesia adalah berdirinya puluhan bahkan mungkin ratusan pesantren tahfiz. Pesantren ini secara sekilas sangat mulia mendidik anak untuk hafal Al Qur-an. Namun, orang tua harus waspada karena ternyata sebagian dari pesantren ini atau bisa di bilang oknum pengelola pesantren model seperti ini hanya mencari keuntungan secara ekonomi dengan mendapatkan donasi dari umat.
Saya mengalami sendiri bekerja sebagai pendidik di sebuah pesantren tahfiz yang tak perlu saya sebutkan namanya. Saat ini pesantren ini mengalami kesulitan keuangan karena operasional pesantren ini mungkin 80 % dari donasi. Tidak adanya keterbukaan pengelolaan keuangan kepada karyawan membuat tanda tanya.
Di dekat rumah saya juga dibangun sebuah gedung megah, dengan judul pesantren tahfiz. Belum ada muridnya dan belum ada gurunya.. dari mana uang untuk membangun gedung semegah itu?
Sungguh miris banyak sekali pesantren yang memanfaatkan anak tak mampu dan anak yatim untuk mendapatkan donasi. Model seperti ini tidak akan bisa bertahan dan menurut pendapat saya hanya menjadi lahan usaha pengelola untuk memperolah kekayaan pribadi.
Selain dari ketidak mandirian secara keuangan, pengelolaan sistem pendidikan juga perlu dipertanyakan. Ada beberapa pesantren tahfiz yang tidak mau upacara bendera. Mereka menggunakan apel pagi tapi tidak menghormat bendera. Pendidikan yang keras dengan sangsi tegas menjadi hal yang lumrah. Santri tidak punya kebebasan berpikir dan cenderung terdoktrin.
Orang tua jangan tertipu dengan kemampuan anak menghafal Al Qur-an. Mereka hanya hafal tapi dari segi pemahaman sangat lemah ketika dibandingkan dengan lulusan pesantren yang berafiliasi dengan organisasi yang sudah besar dan mapan seperti NU. Pesantren NU lebih moderat serta sistem pengajaran yang mengikuti sistem lama yang sudah diterapkan ulama Nusantara. Lulusan dari pesantren NU lebih mapan kerena menguasai berbagai bidang ilmu keagamaan walaupun mungkin mereka tidak hafal Qur-an.
Selain itu pesantren NU lebih mandiri walaupun kondisi gedung dan siswa terlihat sumpek karena dalam satu kamar bisa untuk banyak orang.
Sekali lagi jangan tertipu dengan iming-iming menjadi hafiz tetapi pemahaman terhadap ilmu agama lainya sempit dan cenderung intoleran.